nah.. kali ini geologist muda mau melampirkan tugas nih.. barang kali berguna bila suatu saat saudara hendak membuat laporan mengenai kristalografi.. yang geologist muda harapkan saudara terhebat sekalian dapat menguasai materi dari laporan mengenai kristalografi ini yaa.. karna seperti yang kita tahu kristalografi ini adalah dasar dari ilmu geologi sebelum kita melangkah ke tahap mineralogi, petrologi dan petrografi dan seterusnya.. jadi kita harus menguasai dasarnya dulu ya saudara..
nah.. pendek cerita langsung aja nih geologist muda tunjukin.. let's see.... :)
BAB
II
TATA
CARA PENDESKRIPSIAN
2.1.
Jumlah Unsur Simetri
Jumlah unsur simetri adalah
notasi-notasi yang digunakan untuk menjelaskan nilai-nilai yang ada dalam
sebuah kristal, nilai sumbu-sumbunya, jumlah bidang simetrinya, serta titik
pusat dari kristal tersebut. Dengan menentukan nilai jumlah unsur
simetri, kita akan dapat mengetahui dimensi-dimensi yang ada dalam kristal
tersebut, yang selanjutnya akan menjadi patokan dalam penggambarannya.
Unsur simetri yang diamati adalah
sumbu, bidang, dan pusat simetri. Cara penentuannya adalah sebagai berikut:
1. Pada posisi
kristal dengan salah satu sumbu utamanya, lakukan pengamatan terhadap nilai
sumbu simetri yang ada. Pengamatan dapat dilakukan dengan cara memutar kristal
dengan poros pada sumbu utamanya.
2. Perhatikan
keterdapatan sumbu simetri tambahan, jika ada tentukan jumlah serta nilainya. Menentukan nilainya sama dengan pada
sumbu utama.
3. Amati
keterdapatan bidang simetri pada setiap pasangan sumbu simetri yang ada pada
kristal.
4. Amati bentuk
kristal terhadap susunan persilangan sumbunya, kemudian tentukan ada tidaknya
titik pusat kristal.
5. Jumlahkan semua
sumbu dan bidang simetri (yang bernilai sama) yang ada.
2.1.1. Bidang Simetri
Bidang
simetri merupakan suatu bidang khayal yang menembus dan membagi
Kristal
menjadi dua bagian yang sama besar dengan salah satu sisi / bagian merupakan
suatu pencerminan dari bidang yang lain. Bidang simetri dibagi menjadi dua,
yaitu :
1. Bidang Simetri Aksial, merupakan suatu bidang simetri yang melewati 2
sumbu Kristal. Jika bidang tersebut terbentuk tegak lurus dengan sumbu c, maka disebut
dengan bidang simetri horizontal dan Jika bidang tersebut terbentuk sejajar
dengan sumbu c, maka disebut dengan bidang
simetri vertikal.
2. Bidang Simetri Intermediet, apabila bidang
simetri tersebut hanya melewati 1 sumbu saja (Bidang Simetri Diagonal)
2.1.2.
Sumbu Simetri
2.1.2. Sumbu Simetri
Sumbu simetri adalah garis bayangan yang dibuat menembus
pusat kristal, dan bila kristal diputar dengan poros sumbu tersebut sejauh satu
putaran penuh akan didapatkan beberapa kali kenampakan yang sama.
2.1.2.1 Sumbu Simetri Gyre
Gyre
atau sumbu simetri biasa,cara mendapatkan nilai simetrinya adalah dengan
memutar Kristal pada porosnya dalam satu putaran penuh. Bila terdapat dua kali kenampakan
yang sama dinamakan digire, bila tiga trigire
(3), dst.
2.1.2.2. Sumbu Simetri Gyre Polair
Simetri
Gyre Polair adalah
sumbu simetri yang cara mendapatkan nilai simetrinya dengan memutar kristal
pada porosnya dan memproyeksikannya pada bidang horisontal.
2.1.2.3 Sumbu Cermin Putar
Sumbu
cermin putar adalah sumbu simetri yang cara mendapatkan nilai simetrinya
dengan memutar kristal pada porosnya dan mencerminkannya melalui pusat kristal.
Penulisan nilai simetrinya dengan cara menambahkan bar pada angka simetri itu.
Bila tiga tribar (3), empat tetrabar
(4), dst.
2.1.3 Pusat Simetri
Suatu kristal dikatakan mempunyai pusat simetri bila
dalam kristal tersebutdapat dibuat garis bayangan tiap-tiap titik pada
permukaan kristal menembus pusat
kristal dan akan menjumpai titik yang lain pada permukaan di sisi yang lain
dengan jarak yang sama terhadap pusat kristal pada garis bayangan tersebut
Semua Kristal memiliki pusat Kristal, namun belum tentu memiliki sumbu simetri.
2.2. Herman-Mauguin
Dalam pembagian Sistem kristal, ada 2
simbolisasi yang sering digunakan. Yaitu Herman-Mauguin
dan Schoenflish. Simbolisasi
tersebut adalah simbolisasi yang dikenal secara umum (simbol Internasional).
Simbol Herman-Mauguin
adalah simbol yang menerangkan ada atau tidaknya bidang simetri dalam suatu
kristal yang tegak lurus terhadap sumbu-sumbu utama dalam kristal tersebut. Hal
ini dapat dilakukan dengan mengamati sumbu dan bidang yang ada pada kristal
tersebut.
Pemberian
simbol Herman-Mauguin ini akan
berbeda pada masing-masing kristal. Dan cara penentuannya pun berbeda pada tiap
Sistem Kristal.
1. Sistem Isometrik
•
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu utama, mungkin
bernilai 2, 4, atau 4.
•
Bagian 2 : Menerangkan Sumbu tambahan
pada arah 111, apakah bernilai 3 atau 3.
•
Bagian 3 : Menerangkan sumbu tambahan bernilai 2 atau
tidak bernilai yang memiliki arah 110 atau arah lainnya yang terletak tepat diantara
dua buah sumbu utama.
2. Sistem Tetragonal
•
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, mungkin mungkin
bernilai 4 atau
4.
•
Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu utama horizontal.
•
Bagian 3 : Menerangkan nilai sumbu tambahan yang terletak
tepat diantara dua sumbu utama lateral.
3. Sistem Hexagonal dan Trigonal
•
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, mungkin bernilai 6
atau 3.
•
Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu utama horizontal.
•
Bagian 3 : Menerangkan ada tidaknya nilai sumbu tambahan
yang terletak tepat diantara dua
sumbu utama horizontal, berarah 1010.
4. Sistem Orthorhombik
Terdiri atas tiga bagian, yaitu dengan menerangkan nilai
sumbu-sumbu utama dimulai dari sumbu a, b, dan kemudian c.
5. Sistem Monoklin
Pada sistem ini hanya terdiri dari satu
bagian, yaitu hanya menerangkan nilai sumbu b.
6. Sistem Triklin
Untuk sistem ini hanya mempunyai dua
kelas simetri yang menerangkan keterdapatan pusat simetri kristal.
Keseluruhan bagian tersebut diatas
harus diselidiki ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus terhadap sumbu
yang dianalisa. Jika ada, maka penulisan nilai sumbu diikuti dengan huruf “m”
(bidang simetri) dibawahnya. Kecuali untuk sumbu yang bernilai satu ditulis
dengan “m” saja.
Berikut ini adalah beberapa contoh
penulisan simbol Herman-Mauguin
dalam pendeskripsian kristal :
1.
6/m : Sumbu simetri bernilai 6 dan
terhadapnya terdapat bidang simetri yang
tegak lurus.
tegak lurus.
2. 6 : Sumbu simetri bernilai 3, namun tidak ada
bidang simetri yang tegak lurus
terhadapnya.
terhadapnya.
3. m : Sumbu simetri bernilai 1 atau tidak
bernilai dan terhadapnya terdapat
bidang simetri yang tegak lurus.
bidang simetri yang tegak lurus.
2.3. Schoenflish
Simbolisasi Scoenflish digunakan untuk menandai
atau memberi simbol pada unsur-unsur simetri suatu kristal. Seperti sumbu-sumbu
dan bidang-bidang simetri. Simbolisasi Schoenflish
akan menerangkan unsur-unsur tersebut dengan menggunakan huruf-huruf dan angka
yang masing-masing akan berbeda pada setiap kristal.
Berbeda dengan Herman-Mauguin yang pemberian simbolnya berbeda-beda pada
masing-masing sistemnya, pada Schoenflish
yang berbeda hanya pada sistem Isometrik. Sedangkan system-sistem yang lainnya
sama cara penentuan simbolnya.
1. Sistem Isometrik
Pada sistem ini, simbolisasi yang
dilakukan hanya terdiri dari 2 bagian, yaitu :
1.
Bila bernilai 4, maka dinotasikan
dengan huruf O (Octaheder)
2.
Bila bernilai 2, maka dinotasikan
dengan huruf T (Tetraheder)
Bagian 2 : Menerangkan keterdapatan bidang simetri.
a. Jika mempunyai
bidang simetri horizontal, vertikal dan diagonal. Maka diberi notasi huruf h.
b. Jika mempunyai
bidang simetri horizontal dan vertikal. Maka diberi notasi huruf h.
c. Jika mempunyai
bidang simetri vertikal dan diagonal. Maka diberi notasi huruf v.
d. Jika hanya
mempunyai bidang simetri diagonal. Maka diberi notasi huruf d.
2. Sistem
Tetragonal, Hexagonal, Trigonal, Rombhik, Monoklin dan Triklin
Pada sistem-sistem ini, simbolisasi Schoenflish yang dilakukan terdiri dari
3 bagian, yaitu :
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu lateral atau sumbu
tambahan, ada 2
kemungkinan :
1. Kalau bernilai
2, maka dinotasikan dengan huruf D (Diedrish)
2. Kalau tidak
bernilai, maka dinotasikan dengan huruf C (Cyklich)
Bagian 2 : Menerangkan nilai dari sumbu c. penulisan
dilakukan dengan
menuliskan
nilai angka nilai sumbu c tersebut didepan huruf D atau C (dari bagian 1)
dan ditulis agak kebawah.
Bagian 3 : Menerangkan keterdapatan bidang simetri. Penulisan dilakukan dengan menuliskan
huruf yang sesuai sejajar dengan huruf dari bagian 1.
1. Jika mempunyai
bidang simetri horizontal, vertikal dan diagonal, maka dinotasikan dengan huruf
h.
2. Jika mempunyai
bidang simetri horizontal dan vertikal, maka dinotasikan dengan huruf h.
3. Jika mempunyai
bidang simetri vertikal dan diagonal. Maka dinotasikan dengan huruf v.
4. Jika hanya
mempunyai bidang simetri diagonal saja. Maka dinotasikan dengan huruf d.
Tabel 2.1 Contoh Simbolisasi Schoenflish
No
|
Kelas Simetri
|
Notasi (Simbolisasi)
|
1
|
Hexotahedral
|
Oh
|
2
|
Ditetragonal
Bipyramidal
|
D4h
|
3
|
Hexagonal
Pyramidal
|
D6h
|
4
|
Trigonal
Pyramidal
|
C3v
|
5
|
Rhombik
Pyramidal
|
C2v
|
6
|
Rhombik
Dipyramidal
|
C2h
|
7
|
Rhombik
Disphenoidal
|
C2
|
8
|
Domatic
|
Cv
|
9
|
Pinacoidal
|
C
|
10
|
Pedial
|
C
|
2.3.1. Notasi Schoenfish
Dalam notasi Schoenfish, grup titik ditandai dengan suatu simbol huruf yang mempunyai indeks. Arti dari simbol-simbol tersebut adalah :
Huruf O (untuk oktahedral) menandakan grup tersebut mempunyai simetri dari sebuah oktahedral (atau kubus), dengan (Oh) atau tanpa (O) operasi tidak pantas (yang mengubah ulinan).
Huruf T (untuk tetrahedral) menandakan bahwa grup tersebut mempunyai simetri dari sebuah tetrahedral. Td memasukan operasi tidak pantas, sedangkan T tidak, dan Th adalah T dengan penambahan suatu invers.
C (untuk cyclic) menandakan bahwa grup tersebut mempunyai n-kali sumbu rotasi. Cnh adalah Cn dengan penambahan bidang cermin yang tegak lurus terhadap sumbu rotasi. Cnv adalah Cndengan penambahan bidang cermin yang paralel dengan sumbu rotasi.
Sn (untuk Spiegel, bahasa Jerman dari cermin) menandakan sebuah grup yang hanya mempunyai sebuah n-kali sumbu rotasi-pencerminan.
Dn (untuk dihedral, atau dua sisi) menandakan grup tersebut mempunyai n-kali sumbu rotasi ditambah dua sumbu yang tegak lurus dengan sumbu tersebut. Dnh mempunyai, sebagai tambahan, sebuah bidang cermin yang tegak lurus terhadap sumbu n-kali. Dnv mempunyai, sebagai tambahan dari elemen Dn, bidang cermin yang paralel dengan sumbu sumbu n-kali.
2.4.
Indeks Miller-Weiss
Indeks Miller dan Weiss adalah
salah satu indeks yang sangat penting, karena indeks ini digunakan pada ancer
semua ilmu matematika dan struktur kristalografi. Indeks Miller dan Weiss pada
kristalografi menunjukkan adanya perpotongan sumbu-sumbu utama oleh
bidang-bidang atau sisi-sisi sebuah kristal. Nilai-nilai pada indeks ini dapat
ditentukan dengan menentukan salah satu bidang atau sisi kristal dan
memperhatikan apakah sisi atau bidang tersebut memotong sumbu-sumbu utama (a, b
dan c) pada kristal tersebut. Selanjutnya setelah mendapatkan nilai perpotongan
tersebut, langkah yang harus dilakukan selanjutnya adalah menentukan nilai dari
indeks Miller dan Weiss itu sendiri. Penilaian dilakukan
dengan mengamati berapa nilai dari perpotongan sumbu yang dilalui oleh sisi
atau bidang tersebut. Tergantung dari titik dimana sisi atau bidang tersebut
memotong sumbu-sumbu kristal. Pada dasarnya, indeks Miller dan Weiss tidak
jauh berbeda. Karena apa yang dijelaskan dan cara penjelasannya sama, yaitu
tentang perpotongan sisi atau bidang dengan sumbu simetri kristal. Yang berbeda
hanyalah pada penentuan nilai indeks. Bila pada Miller nilai perpotongan yang telah didapat sebelumnya dijadikan
penyebut, dengan dengan nilai pembilang sama dengan satu. Maka pada Weiss nilai perpotongan tersebut
menjadi pembilang dengan nilai penyebut sama dengan satu. Untuk indeks Weiss, memungkinkan untuk mendapat
nilai indeks tidak terbatas, yaitu jika sisi atau bidang tidak memotong sumbu
(nilai perpotongan sumbu sama dengan nol). Dalam praktikum laboratorium
Kristalografi dan Mineralogi jurusan Teknik Geologi, ITM, disepakati bahwa nilai
tidak terbatas ( ~ ) tersebut digantikan dengan atau disamakan dengan tidak
mempunyai nilai (0). Indeks Miller-Weiss
ini juga disebut sebagai sistim bentuk. Hal ini adalah karena indeks ini juga
akan mencerminkan bagaimana bentuk sisi-sisi dan bidang-bidang yang ada pada
kristal terhadap sumbu-sumbu utama kristalnya dan mempermudah dalam mengetahui
perpotongan antar sumbu.
BAB III
SISTEM KRISTAL DAN DESKRIPSI
3.1. Sistem Isometrik
Gambar
3.1 Sistem Isometrik
mineral copper
Sistem ini juga disebut regular, atau bahkan sering dikenal sebagai kubus atau kubik. Jumlah sumbu kristalnya ada 3 dan saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Dengan perbandingan panjang yang sama untuk masing-masing sumbunya. Pada kondisi sebenarnya, sistem Isometrik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu a = b = c, yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalografinya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚). Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Isometrik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 3. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c juga ditarik garis dengan nilai 3 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ. Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Isometrik ini adalah gold, copper, pyrope, platinum, halite dan spinel.
3.2. Sistem Tetragonal.
Gambar 3.2. sistem tetragonal
mineral apatite
Sama dengan sistem Isometrik, sistem ini mempunyai 3 sumbu kristal yang masing-masing saling tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan panjang sama. Sedangkan sumbu c berlainan, dapat lebih panjang atau lebih pendek. Tapi pada umumnya lebih panjang. Pada kondisi sebenarnya, sistim Tetragonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada ini, semua sudut kristalografinya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚). Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, Tetragonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ. Beberapa contoh mineral dengan kristal Tetragonal ini adalah zircon, beryl, apatite, erionite dan nepheline.
Sistem ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak
lurus terhadap ketiga sumbu lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk
sudut 120˚ terhadap satu sama lain. Sambu a, b, dan d memiliki panjang
sama. Sedangkan panjang c berbeda, dapat lebih panjang atau lebih pendek (umumnya
lebih panjang).
Pada kondisi
sebenarnya, sistim Hexagonal memiliki axial
ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a
sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c.
Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti, pada sistim ini, sudut α dan β saling tegak
lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ. Pada
penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, Hexagonal memiliki
perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis
dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik
garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar
sumbunya a+^bˉ = 20˚ ;
dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara
sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚
terhadap sumbu b+. Beberapa contoh mineral sistim
kristal Hexagonal ini : quarsa.
3.4. Sistem Trigonal.
Gambar 3.4. Sistem Trigonal
mineral gypsum
Sistem ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus terhadap ketiga sumbu lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk sudut 120˚ terhadap satu sama lain. Sambu a, b, dan d memiliki panjang sama. Sedangkan panjang c berbeda, dapat lebih panjang atau lebih pendek (umumnya lebih panjang). Pada kondisi sebenarnya, sistim Hexagonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti, pada sistim ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ. Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, Hexagonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+. Beberapa contoh mineral sistim kristal Hexagonal ini : gypsum.
3.5. Sistem Orthorhombik.
Gambar 3.5 Sistem Orthorhombik
mineral aragonite
Sistem ini disebut juga Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri kristal yang saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang berbeda.Pada kondisi sebenarnya, Orthorhombik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti ketiga sudutnya saling tegak lurus (90˚). Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, Orthorhombik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistim ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ. Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Orthorhombik ini adalah brite, celestite, aragonite, cerussite, dan witherite
3.6.
Sistem Monoklin
Gambar 3.6. sistem monoklin
mineral malachite
Monoklin
artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga sumbu yang
dimilikinya. Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu n, n tegak lurus terhadap sumbu
c, tetapi sumbu c tidak tegak lurus terhadap sumbu a. Ketiga sumbu tersebut
mempunyai panjang yang tidak sama, umumnya sumbu c yang paling panjang dan
sumbu b paling pendek.
Pada kondisi
sebenarnya, Monoklin memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada
yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Juga memiliki sudut
kristalografi α = β = 90˚ ≠ γ. Hal ini
berarti sudut α dan β saling tegak
lurus (90˚), sedangkan γ tidak tegak lurus (miring). Pada
penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, Monoklin memiliki
perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan
menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+
memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ.Beberapa contoh mineral dengan sistim kristal Monoklin ini
adalah azurite, kernite, malachite,
colemanite dan ferberite.
3.7.
Sistem Triklin
Gambar 3.7. Sistem Triklin
mineral albite
Sistem ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya tidak saling tegak lurus. Demikian juga panjang masing-masing sumbu tidak sama. Pada kondisi sebenarnya, Triklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Juga memiliki sudut kristalografi α = β ≠ γ ≠ 90˚. Hal ini berarti, pada system ini, sudut α, β dan γ tidak saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, Triklin memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 45˚ ; bˉ^c+= 80˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ dan bˉ membentuk sudut 80˚ terhadap c+. Beberapa contoh mineral Triklin ini adalah turquoise, kyanite, albite, microklin dan anorthite.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Dengan mempelajari dan melakukan praktikum tentang Kristalografi yang menjadi bagian dari praktikum Kristalografi dan Mineralogi. Dapat saya ambil kesimpulan bahwa betapa pentingnya untuk dapat mengenal, mengetahui dan menguasai ilmu tentang kristal dalam studi Geologi. Karena kristal sendiri adalah merupakan salah satu dasar yang paling penting dalam ilmu Geologi itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan oleh kristal menjadi salah satu dasar untuk mempelajari ilmu tentang mineral yang akan dipelajari pada tahap selanjutnya. Jika tidak menguasai dan mengenal tentang kristal, akan sangat sulit untuk selanjutnya memmahami Mineralogi, dan mineral itu sendiri adalah pembentuk batuan, sedangkan batuan itu adalah inti dari Geologi. Hal ini juga menyebabkan Kristalografi dan Mineralogi menjadi syarat untuk dapat melanjutkan studi pada mata kuliah dan praktikum Petrologi yang akan dipelajari selanjutnya. Selama melakukan praktikum Kristalografi, praktikan diharapkan mampu mengenal, mengklasifikasi, mendeskripsi serta menggambar sketsa dari masing-masing sistim kristal yang ada, yaitu, Isometrik, Tetragonal, Hexagonal, Trigonal, Orthorhombik, Monoklin serta Triklin. Dan tentu saja praktikan diharapkan mampu untuk mengetahui defenisi dari kristal itu sendiri, proses-proses pembentukkannya, dan juga mengetahui unsur yang ada pada kristal itu sendiri. Seperti sumbu simetri, sudut simetri, dan juga bidang simetri. Selain itu praktikan juga harus mengetahui aplikasi dari Kristalografi itu sendiri, khususnya dibidang Geologi. Dalam praktikum Kristalografi yang dilakukan dilaboratorium Kristalografi dan Mineralogi pada jurusan Teknik Geologi, Institut Teknologi Medan. Digunakan proyeksi Orthogonal dalam melakukan penggambaran atau sketsa kristal. Metode penggambaran ini dilakukan dengan menggunakan persilangan sumbu yang akan menghasilkan sketsa tiga dimensi dari kristal. Penggambaran kristal dilakukan sesuai dengan hasil deskripsi kristal yang telah dilakukan. Pendeskripsian dilakukan dengan langkah-langkah menentukan jumlah ancer-unsur simetri, kelas simetri, simbolisasi Herman-Mauguin, simbolisasi Schoenflish, indeks Miller-Weiss serta menentukan nama bentuk kristal dan contoh-contoh mineralnya. Setelah mempelajari dan melakukan praktikum Kristalografi, diharapkan untuk kedepannya dalam mempelajari Mineralogi akan dapat lebih mudah dengan memiliki dasar-dasar yang telah didapat pada Kristalografi.
4.2. Saran
Selama mempelajari dan melakukan praktikum Kristalografi, telah banyak yang dapat kita pelajari. Baik dalam hal ilmu tentang kristal itu sendiri pada khususnya serta tentang aplikasi dan manfaatnya dalam bidang Geologi dan juga dikehidupan sehari-hari. Dalam melakukan praktikum Kristalografi, dapat kita sadari bersama ada beberapa kekurangan yang cukup menghambat berjalannya proses praktikum. Salah satu yang paling dapat dirasakan adalah kurangnya jumlah sampel kristal yang ada dilaboratorium Kristalografi dan Mineralogi. Maka diharapkan agar kedepannya kekurangan tersebut dapat ditutupi sehingga proses praktikum yang dilakukan dapat berjalan . Dan satu hal lagi yang juga perlu diperhatikan adalah waktu praktikum yang kadang tidak tepat pada waktunya. Diharapkan agar untuk kedepannya kita dapat sama-sama untuk menjaga hal tersebut agar tidak terulang atau paling tidak dikurangi. Dengan begitu diharapkan praktikum yang dilakukan dapat lebih baik lagi. Namun pada dasarnya, diluar kekurangan-kekurangan yang ada. Praktikum yang dilakukan sudah cukup baik. Dan tentu saja kita semua berharap agar dapat terus lebih baik lagi dimasa depan.
nah.. Demikian yang dapat geologist muda post kan buat saudara ku yang terhebat.. semoga apa yang kita bahas mengenai laporan ini menjadi hal yang bermanfaat bagi para saudara sekalian.. lain kali geologist muda akan membawa pembahasan yang lebih menarik lagi.. :)
SALAM DAMAI DAN SUKSES UNTUK SAUDARA TERHEBAT SEKALIAN BY GEOLOGIST MUDA :)